Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Saturday 27 March 2010

A Really Bad Day

I had a really bad day! Jadi, maaf saja kalau postingan kali ini akan sangat panjang. I need to release my anger! So, kalau mau terus membaca, ya silahkan. Kalau tidak, ya tidak apa-apa hehehe.

Hari ini, sesuai titah Bu Sinta, saya pergi menjemput anaknya di bandara. Saya bangun agak kesiangan pagi ini karena semalam begadang chatting bareng Kopi sama Anak Roti (halo, girls!) 

Saya dibangunkan adik saya karena Papa sudah kelaparan dan ingin makan Bubur Manado. Jadilah saya bangun, cuci muka, sikat gigi dan ganti baju. Setelah semuanya siap, kami berangkat ke restoran langganan kami yang khusus menjual Bubur Manado. FYI, sepiring Bubur Manado di restoran itu bisa mencapai Rp 15.000. Padahal kalau di kampung halaman saya, sepiring Bubur Manado hanya sekitar Rp 3.500. Sadis yah?

Selesai makan kami langsung kembali ke rumah. Pak Samin ternyata sudah nangkring di depan rumah dengan mobil kantor begitu saya tiba. Jadi saya langsung buru-buru mandi dan siap-siap. Saya membuka lemari pakaian, mengambil kaos hitam yang letaknya paling atas dan celana pendek berwarna cokelat tua. Langsung saya kenakan tanpa pikir panjang. Toh, dari bandara kami akan langsung jalan-jalan. Lagian ini kan termasuk acara santai. Jadi masa bodoh dengan dandanan.

Masalah pertama muncul. Kaos yang saya kenakan, iya kaos hitam itu, ternyata kaos SepociKopi yang saya pesan! Ah, masa bodoh. Tidak bakalan ada yang tahu ini. Saya juga sedang buru-buru. Jadi dengan cueknya saya memilih untuk tidak mengganti kaos.Dan ini pertama kalinya saya mengenakan kaos itu.

Setelah beres semuanya, saya dan Pak Samin langsung tancap gas ke bandara. Begitu saya tiba di bandara sudah terdengar pengumuman bahwa pesawat yang datang dari Jakarta baru saja mendarat. Ah, saya aman. Tapi di sinilah muncul masalah kedua. Saya celingak-celinguk, tengok kiri tengok kanan. Loh, anaknya Bu Sinta yang mana yah? Kan saya belum pernah melihat tampang anaknya itu. Gawat gawat gawat! Untung Pak Samin datang.

"Pak, saya nggak tahu anaknya Bu Sinta yang mana." Kata saya panik sambil menjulurkan leher berusaha mencari wajah yang mirip bu Sinta.

"Bu Rae tidak tahu anaknya Bu Sinta, di?" Pak Samin balik bertanya dengan logat Makassarnya. "Jadi bagaimana ki ini?

Lah, bagaimana Pak Samin ini. Kok malah balik nanya sih? Manggil saya "bu" lagi. Memangnya tampang saya tampang ibu-ibu apa?

"Wah, Pak, saya belum pernah ketemu anaknya Bu Sinta. Mana saya tahu." Masa musti teriak-teriak sih?

"Saya baru satu kali ketemu anaknya. Mungkin saya masih ingat wajahnya."

Hah? Dari tadi kek ngomong. Pak Samin bikin orang panik saja!

"Nah, itu anaknya, Bu."

Saya menoleh ke arah yang ditunjuk Pak Samin. Seorang pria muda sedang berjalan ke arah pintu keluar sambil menarik koper di belakangnya. Hmmm, wajahnya sih memang mirip Bu Sinta. Dan meskipun saya ini penyuka perempuan, saya masih bisa bilang mana pria yang ganteng dan mana yang biasa-biasa saja. Nah, anaknya Bu Sinta ini termasuk yang ganteng. Tapi dia tidak sendiri. Ternyata dia datang bersama adik perempuannya. Yah, sebagai lesbian normal, saya bilang adiknya cantik juga. Tipe-tipe perempuan ABG yang bisa memunculkan sifat pedofil (hihihi saya sedang jail.)

Sayang, wajah yang ganteng dibarengi dengan sifat yang menyebalkan. Sedangkan adiknya, wajah boleh cantik, tapi (sumpah!) pecicilan banget! Awalnya saya cuekin saja. Tapi lama-lama saya benar-benar dongkol!

Si bungsu merengek ingin langsung ke Trans Studio. Ya sudah kami semua mengalah. Dari bandara Pak Samin langsung mengantar kami ke Trans Studio. Muncul masalah ketiga. Saat akan membayar tiket masuk kami saling menunggu. Si sulung akhirnya angkat suara sambil menatap saya.

"Ayo bayar. Memangnya Mama nggak ngasih lo duit?"

Lah, memangnya saya anaknya, dikasih duit?

"Bayar pake duit lo dulu deh. Nanti minta ganti ke Mama. Gue belum sempat ke ATM."

Gila! Saya ini cuma dimintai tolong menemani bukannya menjadi babysitter kalian! Sialan. Lagian ya, kalau ngomongnya baik-baik saya masih bisa terima. Ini ngomongnya saja sudah bikin saya pengen lempar dia dengan sandal. Terpaksa saya merogoh dompet dan meluarkan tiga lembar uang seratus ribu rupiah. Habisnya HTM ke Trans Studio itu Rp 100.000/orang. Sudah begitu, setiap kali naik wahana masih harus bayar lagi. Jadi HTM Rp 100.000 itu bukan tiket terusan seperti di Dufan. Dompet saya benar-benar terkuras. Untung kemarin sempat ambil uang di ATM.

Setelah puas keliling-keliling Trans Studio, lagi-lagi si bungsu merengek minta makan. Saya masih berbaik hati membawa mereka ke sebuah restoran yang cukup terkenal. Masalah keempat muncul. Lagi-lagi saya yang disuruh bayar. Dasar manusia kikir! Masa buat makan saja tidak punya uang? Tahu begini, saya bawa saja mereka makan di emperan jalan. Dengan terpaksa saya mengeluarkan kartu kredit (untung bisa bayar pakai kartu kredit!) Habisnya uang tunai di dompet saya tinggal Rp 25.000! Dasar tukang peras!

Begini ya, saya ini bukan orang yang suka perhitungan. Tapi kalau sama jenis manusia yang seperti sih, satu perak pun saya perhitungan! Huh, biarain semoga habis makan sakit perut! Aduh Gusti, maafkan saya. Tapi dua manusia ini benar-benar bikin saya dongkol. Saya benar-benar kapok!

Pulang-pulang saya diajak ke kondangan teman kantor Papa. Ah, Papa saya lagi nggak mood ke pesta. Mendingan di rumah, nulis blog sambil mendengarkan lagu. Lumayan menenangkan hati.

Friday 26 March 2010

Being Trapped


Menjelang jam pulang kantor saya dipanggil Bu Sinta, bos saya, ke ruangannya. Padahal saya sudah siap-siap minggat begitu jam 5 teng. Tumben-tumbenan bisa pulang sore. Lagian saya sudah janji akan mengajak si Dede, adik saya, jalan-jalan ke mal. 

Saya sudah was-was. Pasti ada yang tidak beres nih. Biasanya kalau ada yang dipanggil ke ruangannya, pasti ujung-ujungnya diomelin karena kerjaan tidak beres. Tapi rasa-rasanya kerjaan saya sudah beres semua, deh.

Saya mengetuk pintu dan masuk ke ruangannya setelah mendengar suara Bu Sinta dari dalam.

"Duduk Rae." 

Saya duduk di kursi di depan meja Bu Sinta. 

"Sabtu besok kamu nggak ngapa-ngapain kan?" Tanya Bu Sinta. "Kamu masih single kan?"

Yah, sebenarnya tanpa bertanya pun dia sudah tahu saya ini jomblo. Apalagi yang bisa dilakukan seorang jomblowati di akhir minggu selain tidak ngapa-ngapain. Padahal sebenarnya saya berencana untuk membereskan rumah yang sudah seperti kapal yang baru saja dibom. Saya memberikan sebuah anggukan untuk menjawab kedua pertanyaannya.

"Besok anak saya datang dari Jakarta. Kamu tahu kan, malam ini saya sudah harus berangkat ke Surabaya untuk meeting besok. Nah, saya minta tolong kamu jemput anak saya, ya. Nggak usah pakai mobil kamu. Biar Pak Samin yang antar kamu ke bandara sekalian langsung jalan-jalan. Soalnya dia nggak bisa lama-lama di sini. Kalau tunggu saya pulang, bisa-bisa nggak sempat jalan-jalan."

Hah??? Ini sih eksploitasi tenaga kerja namanya. Wong di job description saya tidak ada yang namanya mengantar dan menjemput anak bos. Apalagi kalau saya harus ikutan entertain. Yang saya tahu kalau urusan klien, baru deh itu tugas saya. 

Ini namanya jebakan. Saya jadi serba salah. Mau menolak, lah ini perintah bos. Lagian daripada bonus saya bulan ini disunat, mendingan saya mengangguk saja sebagai tanda setuju. Yang saya tidak mengerti, kenapa juga harus saya? Kan masih ada juga karyawan di kantor ini yang lagi jomblo seperti saya? Ah, ada-ada aja nih Bu Sinta.

Saya berdiri beranjak ke pintu saat Bu Sinta berkata, "Anak saya juga masih single loh, Rae."

Huh? Kenapa bos saya jadi ketularan si Mak Comblang??? #!%$*@&#! 

Saturday 20 March 2010

Butch or Femme

“Are you butch or femme?” Ehm, saya, eh, saya... Saya paling bingung kalau ditanya soal itu. Masalahnya, saya tidak tahu saya ini butch atau femme. Aneh kan? Iya, saya memang terkadang suka aneh (malah ngaku aneh, duh). Makanya suka kesal sendiri kalau chatting sama bule-bule itu. Nanyanya suka yang aneh-aneh. Belum lagi suka minta yang aneh-aneh dan ngomong yang aneh-aneh. Intinya mereka semua aneh bin ajaib!

Mari kita telaah. Andaikan butch itu seperti Shane dalam The L Word. Nah, kalau pengandaiannya seperti itu berarti saya bukan butch. Secara keseluruhan, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, saya tidak ada miripnya dengan Shane. Ya iyalah, mimpi apa saya, bisa mirip sama Shane. Tapi maksud saya, mulai dari potongan rambut sampai cara berpakaian saya tidak ada yang mirip dengan Shane.

Potongan rambut saya lurus panjang sebahu (lah, itu namanya pendek ya?) Sehari-hari saya memang senang mengenakan celana panjang atau pendek dengan kaos, yang kadang oblong kadang pas badan, plus sandal jepit rata, jam tangan sebagai asesoris, kadang-kadang pakai kalung juga, dan tas. Kalau harus menghadiri pesta saya tidak keberatan mengenakan one piece dress atau rok. Jadi saya bukan butch.

Kalau begitu saya ini femme? Mari andaikan dulu femme itu seperti Jenny. Kalau begitu saya juga bukan femme. Habisnya saya ini tidak ada femininnya sama sekali. Sama sekali jauh dari stigma para femme pada umumnya. Malah kata teman-teman, saya ini lebih memancarkan aura maskulin. Mulai dari gaya berbicara, cara berjalan (masa sih?), cara berpikir yang lebih banyak menggunakan logika, bahkan sampai pada pilihan dekorasi kamar. So, I’m not femme, either.

Jadi kalau bukan butch atau femme, saya ini apa dong? Ah, saya tidak tahu. Saya paling bingung dengan sebutan-sebutan itu. Apalagi sekarang ditambah dengan sebutan “andro”. Lagian ngapain coba pakai nanya-nanya saya segala? Kan saya jadi pusing. Saya ya saya. Bukan butch, bukan pula femme, apalagi andro. Tidak ada saya yang butch atau saya yang femme. Yang ada hanya saya. Titik.

Ah, jadi capek sendiri.

Wednesday 17 March 2010

Prank Calls

Sungguh, tidak ada yang lebih mengesalkan ketika dibangunkan dari tidur nyenyak oleh sebuah telepon. Apalagi kalau yang menelepon itu orang iseng! Rasanya ingin saya maki-maki. Tapi mulut saya biasanya tidak sinkron dengan hati kalau sedang dalam keadaan antara tidur dan bangun.

Pagi buta. HP saya berbunyi. Memang biasanya saya mematikan HP. Tapi karena semalam saya kelelahan, jadinya saya langsung tertidur dan lupa mematikan HP. Saya menjawab dengan suara mengantuk tapi tetap sopan, padahal hati sudah bergejolak ingin mengomel. Yang menelepon memperkenalkan diri dan bilang kalau dia mendapatkan nomor HP saya dari teman salah satu temannya.Ah, pasti ini ulah Mak Comblang yang suka menyebarkan nomor HP saya ke mana-mana

Saya hanya meladeninya dengan sikap cuek sambil tiduran dan mata setengah terpejam. Tidak jelas juga apa yang sedang dibicarakan orang itu. Sampai dia mengatakan, "...saya mau menikah dengan kamu." Sontak saja mata saya terbuka dan saya sepenuhnya bangun dari alam tidur. Dasar manusia edan! Saya bilang, "Wah mas, Anda salah orang. Cari aja yang nggak waras yang mau menikah sama Anda."

Saya benar-benar kesal. Sudah sering saya mendapat telepon dari orang-orang iseng dan aneh. Tapi ini sudah keterlaluan namanya. Awas saja si Mak Comblang itu. Cukup sudah!

Friday 12 March 2010

Tulisan Saya Diterima!

Saya sedang menyesap kopi ketika HP saya berbunyi. "Tulisan lo diterima, Rae!" Pekik sahabat saya. Saya bingung. Hah, tulisan apaan? Lama saya baru ingat kalau saya pernah mengirimkan tulisan ke redaksi sebuah majalah online. Sudah lama saya mengirimkannya. Jadi saya pikir tulisan saya ditolak. Karena masih berada di kantor, dan internet di kantor itu dibatasi penggunaannya, jadi saya belum bisa membuka situs majalah online tersebut.

Ternyata benar! Tulisan saya dimuat di majalah online itu! Astaga! Untuk sesaat saya merasa tidak percaya. Tapi itu benar-benar nama saya. Tertulis tepat di atas artikel. Ah, senangnya hati ini. Perlahan saya membaca kembali tulisan saya itu. Meresapi setiap komentar dari para pembaca. Rasanya senang bisa mendapatkan dukungan dari mereka :)

Terima kasih untuk tim redaksi yang sudah menerima tulisan saya. Dan terima kasih juga untuk sahabat saya yang sudah mendukung saya dalam penulisan (halah udah kayak halaman Kata Pengantar di skirpsi aja hehe). Nggak apa-apalah. Yang penting saya senang. Untuk sesaat saya tidak memikirkan kencan buta besok. Uhhh... 

P.s. Maaf saya agak norak. Maklum writer wannabe :P