Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Wednesday 26 October 2011

In Another Ten Years

Semalam, saat tengah tidur-tidur bengong sambil menunggu reaksi obat flu yang gue minum untuk membuat gue tertidur pulas, tiba-tiba gue kepikiran tentang obrolan gue bersama Q beberapa hari yang lalu.

Q pernah bertanya sesuatu mengenai kehidupan, karenaa saat itu dia sedang membutuhkan seorang partner untuk melatih peran, termasuk berdisikusi tentang kehidupan untuk menghayati perannya (entah apa pula perannya itu.) Tanyanya, "ten years ago, did you expect that your life would be anything like it is today?"

Waktu itu, entah karena gue sedang sibuk karena kita ngobrol di sela-sela pekerjaan atau karena gue sedang malas berpikir, jadi gue menjawab asal saja. Tapi kemarin malam, tiba-tiba gue ingat lagi. Perlahan gue mengingat kembali kejadian-kejadian selama 10 tahun belakangan. Dalam hati gue bertanya, apa iya, kehidupan yang sekarang gue jalani adalah kehidupan yang gue harapkan sepuluh tahun yang lalu? Sepertinya gue harus kembali ke sepuluh tahun yang lalu untuk bisa menjawab pertanyaannya itu.

Sepuluh tahun...

Memori-memori saat gue masih berseragam putih abu, teman-teman sekolah, guru-guru yang ditakuti maupun yang disenangi. Kemudian gue yang berangkat ke Jakarta ditemani nyokap, untuk mempersiapkan segala keperluan kuliah. Awal masuk kuliah artinya beradaptasi dengan lingkungan baru. Ada teman-teman baru yang berasal dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, dosen pembimbing akademik yang suaranya seperti TOA, dosen Filsafat Ekonomi yang kalem, dosen Mikro dan Makro Ekonomi yang terkenal killer dan super pelit soal nilai (dan apesnya, gue kebagian kelasnya selama dua semester berturut-turut!), dan berbagai kejadian lainnya yang kini kalau diingat-ingat lagi, membuat gue tersenyum.

Semuanya terlintas seperti film yang diputar, meskpiun ada beberapa gambar yang terlihat buram karena gue kurang bisa mengingatnya dengan jelas. Tapi dalam memori-memori tersebut, sepuluh tahun itu rasanya berlalu begitu cepat. Terlalu cepat malah. Seperti ketika bertemu seorang teman lama dan saling mengingat-ingat kapan terakhir kalinya bertemu, dan ternyata sudah sepuluh tahun lamanya. Rasanya sepuluh tahun itu berlalu hanya dalam satu kedipan mata. Dua kedipan deh, biar gak terkesan hiperbola banget. Hehehe.

Dalam rentang sepuluh tahun itu, gue seperti bisa melihat dengan jelas masa depan gue. Gue tahu betul apa cita-cita gue, apa yang gue inginkan nanti; menjadi perempuan yang sibuk dengan pekerjaan, oh dan tak lupa juga dengan suit-nya ;), travel ke berbagai tempat di berbagai penjuru.

Selesai kuliah, gue semakin yakin bahwa gue sudah semakin dekat dengan apa yang gue inginkan. Dan memang itu yang terjadi. Gue mendapatkan apa yang gue cita-citakan dan gue sempat travel ke beberapa tempat, meskipun enggak sampai ke berbagai penjuru dunia sih. Tapi itu tidak bertahan lama.

Dan sekarang, sepuluh tahun kemudian, rasa-rasanya gue yang sekarang tidak seperti apa yang gue harapkan sepuluh tahun yang lalu. Gue ternyata harus kembali pulang. Yang gak enaknya, gue merasa asing di tempat asal gue sendiri. Gue bahkan tidak mengnal jalan-jalan yang ada. Disuruh pergi ke suatu tempat, gue pasti bakalan bingung. Disuruh nyetir sendiri, jangan harap gue bisa tiba di tempat tujuan. Bukan hanya karena jalannya banyak mengalami perubahan jalur, tapi bahkan dulu, sebelum gue sempat menjelajahi tempat asal gue ini, gue sudah hijrah ke ibu kota. Dan sepertinya gue lebih mengenal jalan-jalan di Jakarta, dibandingkan di sini.

Kemudian soal pekerjaan. Memang sibuknya gue yang sekarang masih tetap sama dengan sibuknya gue yang dulu. Malah jauh lebih sibuk deh kayaknya. Cuma pekerjaannya saja yang berbeda. Kalau mau jujur, gue sepertinya tidak terlalu menyukai pekerjaan gue yang sekarang, juga dengan siapa gue bekerja. Selalu ada pertentangan batin dengan cara kerja, tapi gue mau tidak mau harus nurut.

Gue yang sekarang juga berubah menjadi orang yang terlalu realistis, yang sepertinya mulai menjurus pada pesimis. Gue jadi lebih sering menoleh ke belakang - menoleh pada Rae yang dulu, daripada menatap lurus ke depan. The point is what I pictured about me ten years ago was way bigger than what I am right now. I had bigger plans and bigger dreams. Now it's all gone (with the wind deh kalo perlu).

Soal keadaan gue yang "lesbian in the closet", bagi gue itu merupakan sebuah bonus tambahan untuk kehidupan gue saja. Sepuluh tahun yang lalu memang gue tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini. Tapi gue anggap ini sebagai bonus karena menjadi lesbian hanyalah sebagian kecil dari cerita kehidupan gue. Karena saat ini gue berbicara mengenai kehidupan gue dalam konteks yang lebih luas dan tidak hanya terfokus pada kelesbianan gue.

Satu hal yang, untungnya, segera gue sadari adalah gue tidak boleh terus-terusan menoleh ke belakang. Karena Rae yang dulu tetap akan menjadi Rae yang dulu, dan Rae yang sekarang adalah Rae yang sekarang. Sudah saatnya gue memperbaharui cita-cita dan mimpi, sehingga nantinya sepuluh tahun kemudian gue bisa menjadi Rae seperti apa yang gue impikan saat ini.

Dan semoga sepuluh tahun kemudian, jika ada yang bertanya "ten years ago, did you expect that your life would be anything like it is today?", gue akan menjawab dengan mantap dan penuh percaya diri ala angkatan 45, "ya, tentu saja."

Tuesday 18 October 2011

A Little Lesson

"Jadi gimana itu ceritanya kamu gak jadi menikah akhirnya?" Tanya si encim bersasak tinggi.

Aduh, basi banget deh. It's so yesterday. Banget-banget! Mau gue curhat di sini aja udah males. Yang baca juga udah bosen. Ya kan?

Tapi demi menyenangkan hati para tamu arisan, maka nyokaplah yang menjadi "story teller", sedangkan gue hanya duduk manis sambil senyam-senyum palsu. Ck, menghadapi satu encim aja gue kewalahan, apalagi ini ada puluhan encim yang sedang berkumpul?! Jadi biarlah nyokap yang jadi juru bicaranya.

Akhirnya nyokap menceritakan ulang kejadian yang terjadi, sambil diiringi "oh ya?", "ah masa sih?", "kok mereka gitu?", dari para encim-encim yang mendengarkan dengan penuh seksama. Dan di akhir cerita, mereka menarik nafas lega dan mengucap syukur karena gue tidak terjerumus.

Kata mereka, gue masih muda ini. Baru juga memasuki awal pertengahan 20-an. Mereka bilang nyokap gak perlu khawatir. Santai aja dulu. Dan gue pun hanya senyum miris aja mendengar komentar mereka. I mean, sekarang sih iya, mereka ngomong gitu karena umur gue, yang menurut mereka masih muda. Now I wonder, apa yang bakal mereka bilang kalau nanti, setelah gue mulai menua dan belum kawin-kawin juga? Ya kan?

Dari situ gue mengambil sebuah pelajaran kecil: bahwa mulai sekarang gue tidak perlu terlalu memikirkan apa kata orang. Mereka memang senang melontarkan komentar ini-itu, meskipun sebenarnya hanya berdasarkan pada kabar burung belaka.

Terserah orang mau bilang apa. Selama itu termasuk kritik yang membangun - meskipun kadang kritik itu sedikit menyakitkan, gue terima. Tapi jika itu omong kosong dan hoax belaka, I wouldn't give a damn, because they don't even know me. Satu hal yang penting, gue gak pernah mengusik urusan orang lain. Jadi kalau mengusik urusan gue, mending ke laut aja lah. Buang-buang waktu. Gue anggapnya angin lalu.

People can say whatever they want, because they only see what they want to see. But only me can control to let it affect me or not. Ain't I right?

Thursday 13 October 2011

Lesbian Life: Happy in the Closet (Part 2 - End)

Pernah ada yang bertanya, "gimana cara lo bisa bahagia dengan pilihan lo untuk tetap tinggal di dalam ruangan sempit dan gelap itu kalo alasan dibalik pilihan lo itu adalah karena keluarga, Rae?"

Yup, I got it. Pilihan gue, seperti yang sudah gue ungkapkan di part 1, mungkin terlihat seperti dipaksakan dan lebih karena ketakutan. Meaning, karena gue takut kehilangan keluarga gue, maka gue memutuskan untuk tinggal di lemari. Nope, it's not it.

Logically thinking, gue tahu seperti apa keluarga gue, terutama bokap nyokap gue. They won't accept me, no matter how much they love me. And I don't wanna make such a chaos for my family. So there the decision is made.

Soal bahagia atau tidak, gue rasa itu tergantung gue sendiri. Ada sebuah kutipan yang berbunyi seperti ini:

"Orang yang tidak bahagia adalah orang yang selalu ingin pergi dari tempat di mana dia tinggal."

Hey, bukankah hidup ini seperti sebuah film dan kita yang menjadi pemeran sekaligus produsernya? So it's up to me whether I want a happy ending or a sad one. Kalau gue pengen ending yang bahagia, gue tinggal merelakan keadaan gue yang harus selamanya tinggal di ruangan sempit dan gelap ini. Pasrah, tapi bukan berarti menyerah. Stay in the closet, tapi bukan berarti gue tidak merasa bebas.

Yang perlu gue lakukan hanyalah mengubah persepsi gue bahwa stay in the closet itu bukan tinggal di dalam penjara. The bottom line is freeing my mind and I'll be happy. Sementara kalau gue pengen ending yang menyedihkan dan berdarah-darah, gue tinggal melakukan kebalikannya, and forever living in a prison.

Well, it's obvious that option #1 seems a lot lot lot better. But when it comes to action, it's never easy. I mean changing the perception? Whew, it's a pain in the ass. But then again, I wanna be happy for what I am and where I stay.

So, I wrote these post series in order to keep cheering me up, and maybe some of you out there who experience the same as I do :).

Monday 3 October 2011

Lesbian Life: Happy in the Closet (Part 1)

There are some times where I wonder how my life would be if I get out of the closet. Would it be freer? Or whether would I feel like a heavy burden has been lifted from my shoulder?

Mungkin aja ya, jika gue come out, either kehidupan gue bisa jadi lebih bebas sekaligus merasa ada beban berat yang terangkat. Tapi mungkin juga enggak dua-duanya.

Gue ngaku deh kalo kadang gue iri saat membaca blog-blog mereka yang udah coming out, apalagi membaca cerita-cerita mereka. Seperti misalnya nih ya, blognya Mas Bedjo, yang kadang membuat gue pengen cabut ke luar negeri aja. Hehe....

But then in time like this, gue sadar sesadar-sadarnya kalau itu pun gak mungkin. Keadaan dan situasi gue membuat gue harus tetap tinggal di lemari, entah sampai kapan. Bisa aja seumur hidup. Well, who knows?

Motonya kaum minoritas seperti kita-kita, yang berbunyi: "out and proud", jelas tidak bisa diterapkan. Kalaupun gue coming out, belum tentu gue bisa bebas. Misalnya semua orang tahu gue lesbian, belum tentu gue bisa berkeliaran bebas dimana-mana. Ya kan?

Begitu pula jika gue coming out, at least pada keluarga gue, belum tentu gak akan ada beban lagi yang muncul. Kenyataannya, coming out to the family hasilnya bisa either keluarga gue bisa menerima atau malah gue diusir dari rumah hanya dengan mengenakan pakaian di badan dan tanpa uang sepeser pun. Belum lagi rasa malu yang dialami keluarga juga jadi beban tersendiri. Ya kan?

Apapun itu, pasti ada konsekuensinya. Coming out or staying in the closet. Tinggal pilih konsekuensi mana yang bisa ditanggung. Buat gue pribadi, entah sejak kapan gue memilih untuk staying in the closet. Mungkin sejak gue pertama kali sadar kali ya.

Ya, gue udah coming out ke satu dua teman dekat - very very very very very close friends. Tapi itu bukan berarti gue "out and proud". Buat gue, "out and proud" itu artinya gue bisa dengan leluasa dan entengnya ngomong "I'm gay, so you don't have to worry about me not getting married" ke setiap orang, tanpa ada beban, tanpa ada rasa was-was.

Kembali ke pilihan gue, jujur pilihan gue itu enggak ada hubungannya dengan konsekuensi dari pilihan itu sendiri. Mungkin konsekuensi untuk tinggal di dalam lemari jauh lebih ringan dan mudah, makanya gue pilih itu. Bukan. Tetapi karena apapun konsekuensinya, sama-sama memiliki berat yang sama dan tingkat kesulitan yang sama pula untuk dijalani.

Family always come first. That is why. Maybe you think I'm silly, but you know what? Family mean the world to me, whatever happens. So I am willing to stay happily in the closet.

Saturday 1 October 2011

Officially Launched

Yihaaa...akhirnya the new blog is officially launched!

Btw, dodolnya gue, gue lupa kasih tahu link blog barunya ya. Maklum, kemarin-kemarin itu ngerjainnya sambil kepala terantuk-antuk hehehe.

So, here's the link: Sanguinis & Plegmatis

Silakan cekidot, ladies (and gentlemen?) :D