Unless it's photographed by me, all pictures are taken from vi.sualize.us or Google Image

Tuesday 22 May 2012

When Mom Said "Yes"

Beberapa hari semenjak gue mengutarakan kebingungan gue, boleh dikatakan gue telah mengalami banyak hal. Sebenarnya selama beberapa bulan terakhir ini, gue telah mengalami banyak hal yang tidak pernah gue bayangkan sebelumnya. Gue bahkan mengalami hal-hal yang selama ini tidak gue percaya, yang akhirnya kemudian membuat gue percaya setelah gue mengalami dan merasakannya secara langsung.

Seperti doa yang didengar, hari di mana ketika gue mengeluhkan kecemasan gue justru menjadi hari dimana gue pada akhirnya bisa mengungkapan apa yang menjadi impian gue. Pada hari yang sama, gue bertemu dengan seseorang yang, katakanlah, memiliki sebuah karunia. Selama ini gue hanya mendengar cerita mengenai beliau melalui Mama. Jadi ketika gue bertemu beliau pada hari Kamis itu, merupakan kali pertama gue melihatnya.

Dengan masalah yang sedang kami hadapi sekarang ini, Mama meminta beliau untuk mendoakan keluarga kami. Selesai beliau mendoakan kami sekeluarga, entah apa membuat gue berani untuk meminta waktu sesaat dengan beliau. Entah bagaimana keberanian itu datang, sehingga gue mampu mengatakan apa yang selama ini ada dalam benak gue kepada orang baru sekali itu bertemu. Setelah gue ceritakan mengenai tawaran kuliah S2 utuk program MBA, lalu gue ceritakan pula tentang keinginan gue untuk menekuni studi Social Work. Dan setelahnya, beliau kembali berdoa dan dari doanya terungkap bahwa keinginan gue untuk melanjutkan kuliah itu adalah sebuah tawaran besar yang bisa menjadi pintu untuk gue mencapai impian gue yang lainnya. Gue kemudian meminta beliau untuk menyampaikan maksud gue ke Mama, sehingga Mama pun menyeyujui keputusan gue.

Sungguh, rasanya seperti mimpi. Dulu gue tidak pernah percaya dengan hal-hal seperti itu, meski sering mendengar. Tidak pernah terlintas bahwa gue akan mengalaminya sendiri. Mungkin gue harus mengalami semua yang sedang gue alami ini untuk membuat gue percaya. Secara kasarnya, gue ini kualat. Ya kan, ya? Hehehe...

Sekarang, setelah mendapat persetujuan dari Mama, gue pun mulai melakukan persiapan, meski belum bisa benar-benar tenang setelah gue berada di tempat tujuan. Setidaknya sekarang ada sesuatu hal positif yang menjadi fokus gue. Untuk masalah gue yang selalu tertutup kepada Mama, itu untuk nanti-nanti gue pikirkan kembali.

Kecemasan? Sudah pasti masih ada walau hanya sebersit. Tapi inilah yang gue inginkan, inilah yang gue impikan. Apapun yang terjadi gue harus terus melangkah, bukan? Semoga semuanya lancar. I'm crossing my fingers here!

Thursday 17 May 2012

How do I tell my mom?

Kebiasaan gue berdiam diri dan malas membuka mulut itu seperti anugerah sekaligus kutukan buat gue sendiri. Di satu waktu, pepatah "diam adalah emas" itu memang membawa keuntungan tersendiri, yang artinya selalu menjauhkan gue dari masalah. Masalah bisa timbul karena mulut, bukan? Namun di lain waktu, pepatah tersebut seperti bara api di ubun-ubun. Panas menyengat. Apalagi ketika ada sesuatu yang harus gue katakan, tetapi tidak sanggup mengungkapkannya.

Sepertinya gue terlalu terlena dalam diam. Terlena dengan kenyamanan dan ketenangan yang ditawarkannya, sampai-sampai gue lupa untuk berbicara. Bahkan untuk mengungkapkan secara lisan sebuah pemikiran yang paling sederhana pun gue mulai kesulitan. Rasanya gue tidak mampu menemukan kata-kata. Menulis blog menjadi pelarian yang paling sempurna, namun juga semakin meninabobokan kemampuan berbicara secara lisan.

Beberapa hari setelah gue kembali dari luar kota, gue menerima email yang isinya berupa Letter of Offer dari universitas tempat gue mendaftar untuk jenjang pendidikan S2. Jadi, setelah waktu lalu gue mengutarakan keinginan gue untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, tak tanggung-tanggung gue langsung mencari informasi sana-sini, browsing berjam-jam, dan melakukan panggilan telepon dengan beberapa agency. Dan itu semua gue lakukan tanpa sepengetahuan Mama. Gue bahkan harus main kucing-kucingan ketika menghadiri sebuah pameran studi di luar negeri yang diadakan oleh salah satu agent setempat. Semua persiapan dokumen dilakukan secara diam-diam, dengan dibantu oleh Q dari Portland sana.

Inilah inti permasalahannya. Sekarang, setelah gue mendapat tawaran dari universitas yang bersangkutan, gue jadi kelimpungan sendiri. Memang tawaran tersebut masih berupa Conditional Offer, yang artinya gue masih punya hutang memasukkan nilai IELTS. Namun secara prosedur gue sudah mendapatkan tempat untuk melanjutkan kuliah di sana. Malahan untuk intake-nya bulan Juli ini, yang gue pikir terlalu cepat. Oleh karenanya, gue tunda hingga Febuari tahun depan. Meski begitu, gue harus bilang sama Mama dari SEKARANG. Karena masih ada banyak persiapan yang harus dilakukan. Itu juga kalau Mama setuju...

Mungkin... mungkin itu yang membuat gue sedikit ragu untuk bilang ke Mama. Mungkin karena gue takut Mama tidak setuju. Gue takut jika harus menghadapi kenyataan bahwa impian gue sekali lagi harus terlepas dari genggaman. Sungguh, rasanya seperti menggenggam jeli licin yang berkali-kali hampir saja terselip di sela jari. Entahlah, mungkin memang benar adanya bahwa ketakutan dan kecemasan bisa membuat seseorang justru tidak melakukan apa-apa. Dalam kasus gue, membuat gue kehilangan kemampuan untuk mengatakan sesuatu kepada Mama, yang seharusnya merupakan orang terdekat gue.

Pikiran bahwa kemungkinan Mama tidak setuju, masih juga ditambah lagi dengan rasa bersalah dan hanya memikirkan diri sendiri. Dengan keadaan sekarang - pekerjaan yang menumpuk dan keadaan keluarga yang bisa dikatakan agak sedikit goyah - apakah pantas gue memikirkan impian gue? Apa setega itu gue harus meninggalkan Mama seorang diri menghadapi semuanya? Lalu bagaimana dengan semua rencana Mama untuk gue dan adik-adik gue? Semua usaha yang selama ini dikerjakannya dengan susah payah, mau dikemanakan semua ini? Bagaimana mengatakan pada Mama bahwa gue punya impian dan rencana sendiri? Bagaimana, bagaimana dan bagaimana?

Ya ampun, memikirkan semuanya itu membuat kepala serasa hampir pecah. Sudah berhari-hari gue uring-uringan sendiri. Dilanda dilema tiada akhir. Bahkan tidur pun dipenuhi kegelisahan. Ingin rasanya mengacak-acak rambut sendiri. Ditambah dengan kurang tidur, membuat segalanya jadi semakin rumit. Seandainya saja ada cara lain untuk memberitahu Mama. Melalui surat? Rasanya kok konyol, ya... Namun jam terus berdetak, dan waktu terus bergulir. Mungkin sudah saatnya gue bersuara. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Saturday 12 May 2012

One Short Vacation

Hidup memang terus berlanjut, meski sama kerasnya setiap hari. Di hari ketika gue meneguhkan hati untuk tetap tegar, justru terpaan semakin kencang. Tapi sekali lagi, hidup harus terus berjalan maju, hingga pada akhirnya membawa gue pada sebuah perjalan singkat ke luar kota.

Meski perjalanan kali ini mengenai urusan pekerjaan, namun gue masih memperoleh kesempatan berlibur selama dua hari yang gue habiskan di ibu kota. Well, thanks to my partner in crime - yeah you, silly - who hijacked my flight back home. Jadi ceritanya dia juga sedang liburan dan kebetulan kakaknya menitipkan anak-anaknya ke dia. Maka diajaklah gue ke rumahnya untuk menemaninya menjaga dua keponakannya yang ajaib, yang berusia 4 dan 2 tahun.

Anyway, suatu kali gue sedang membaca buku di kamar, sementara teman gue menyiapkan makan malan untuk dua bocah ajaib tadi. Tiba-tiba yang bungsu masuk ke kamar dan ikut duduk di samping gue di tempat tidur.

"Kak Rae, Kak Rae punya cowok gak?"

Nah lho... apa-apaan lagi ini anak. Gue membalasnya dengan setengah mengangguk, setengah menggeleng.

"Ih, Kak Rae ditanya juga. Jadi punya cowok apa enggak?"

Maksa nih ya. "Enggak punya."

"Tapi pernah punya gak?"

Hmmm... "Pernah..."

"Larry punya dong cewek ada 3," katanya lagi sambil mengacungkan tiga jarinya. "Yang satu namanya Tabita, yang satunya lagi Sinta, sama satu lagi namanya Nita."

"Wah, cantik-cantik gak?"

"Cantik dong, kak. Semuanya juga seksi. Pengen Larry cium satu-satu. Kak Rae pernah cium cowoknya?"

Hueeee??? Oalah, kecil-kecil udah mesum aja ya. Ini nih, efeknya susu formula. Anak kecil jadi kelewat pintar. Beda banget sama zamannya gue yang dulu minum air bubur saat kehabisan susu dan kiriman uang susu belum tiba.

Sebelum omongan si bocah satu itu tambah ngawur dan tambah mesum, gue alihkan perhatiannya dengan mengambil HP lalu mulai memotretnya. Maka mulailah dia berpose dengan mengenakan topi dan kacamata hitam, lalu dilanjutkan dengan ngemil jagung pop yang gue bawa sebagai oleh-oleh. Well, kami berdua bersekongkol untuk diam-diam ngemil karena dia tidak dibolehkan ngemil sebelum makan.

"Tuh kan, lo tuh cocok kalau punya anak," kata teman gue saat gue dan Larry duduk di meja makan.

"Ha ha. Makasih deh. Gue ogah."

"Kak Rae, kalau Kak Rae punya anak, nanti jadi pacar Larry aja ya," celetuknya.

"Iya, lanjutkan, nak!" Dan kami semua tertawa.

***

Ketika tiba saatnya gue harus pulang, teman gue mengantar gue ke bandara. Di mobil kami duduk diam sambil mendengarkan alunan musik dari tape mobil. Satu lagu berakhir, digantikan oleh lagunya Glee - Shake It Out (oh yeah, gue sukses meracuninya dengan Glee.)

Shake it out, shake it out
Shake it out, shake it out
And it's hard to dance with a devil on your back
So shake him off

Mendengar liriknya, gue mengerling ke arahnya dan mendapatinya juga tengah mengerling ke arah gue. Maklum, masih berkutat dengan masa lalu dan belum bisa move on dianya. (Ups! Hehe.) Dan berhubung gue sedang usil, gue ikutan nyanyi, dimana di bagian lirik "So shake him off," gue nyanyi kencang-kencang. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah gue.

Selesai "Shake It Out," lagu kembali berganti. Kali ini lagunya La Roux - Cover My Eyes.

When I see you walking with her
I have to cover my eyes
Every time you leave with her
Something inside of me dies

Mendengar liriknya, lagi-lagi kami berdua saling mengerling. Namun kali ini kami berdua tertawa terbahak-bahak, sambil melempar pandangan saling pengertian. Well, at least I had a good laugh! Dan berakhirlah liburan gue kali ini. Tak sabar menanti liburan lagi! Ada yang mau ikut? Hehe...

Thursday 3 May 2012

A New Day

Jadi tiga hari yang lalu gue genap berusia 25 tahun. 25. Oh, crap! Sudah usia kawin, eh, maksudnya nikah. Ibarat buah, sudah matang. Ranum. Siap dipetik. Untuk kasus gue, siap dipinang.

"Ulang tahun yang ke berapa nih?"
"25..."
"Wah, siap-siap pesta."

Tuh kan! Tapi biarlah orang-orang itu sibuk sendiri memikirkan kapan gue bakal menikah, sementara gue malah santai, ongkang-ongkang kaki. Ya toh?

Anyway, beberapa hari sebelum ulang tahun, gue sempat ngobrol banyak bareng Jade, salah satu teman dekat yang selama delapan tahun ini tahu banyak hal tentang gue. Kadang kami berdua saling curhat, kadang juga hanya sekedar saling berbagi cerita. Sama-sama saling mendengarkan. Dan gue senang karena hari itu gue berbicara banyak tentang segala hal yang belakangan ini terjadi. Begitu juga dia, yang ternyata telah mengalami banyak polemik hidup.

Beberapa bulan terakhir ini, bisa dibilang sejak memasuki awal tahun 2012, terjadi banyak kekacauan dalam hidup gue. Sampai-sampai gue berhenti berharap, tidak pernah lagi bermimpi, bahkan tidak satu doa pun gue ucapkan. Karena berdoa itu berarti berharap, dan gue lelah harus kecewa berkali-kali. Gue sampai pada titik dimana gue bangun setiap pagi dengan pikiran kosong dan merasa hampa.

Ever an optimist, Jade mampu menularkan semangatnya tanpa menggurui ataupun memaksa. That is one thing, out of many, that I like about her. Meski pada saat itu gue masih saja pesimis tapi akhirnya gue jadi berpikir sendiri, mau sampai kapan gue terus-terusan membiarkan semua masalah ini memberatkan hidup gue? Maka di hari ketika memasuki usia baru, gue ingin bahagia. I won't let whatever happens to weigh me down.

Kau tahu, seperti membandingkan tubuhmu sebelum dan sesudah melahirkan. Meski, yah, gue belum pernah mengalaminya sendiri. Tapi melihat tubuhmu yang dulu penuh lekukan seksi, kini tak berbentuk. Belum lagi ada stretch mark di mana-mana. Bikin stress, tidak bahagia dan tidak percaya diri. Itu menurut pengalaman seorang teman yang baru saja melahirkan anak keduanya.

Untuk kasus gue, gue memilih untuk berhenti menoleh ke belakang dan berhenti membanding-bandingkan kehidupan gue sebelum dan sesudah gue kembali ke rumah, atau kehidupan gue dengan orang lain. Dan berhenti bertanya kenapa, kenapa dan kenapa.

Let it go, kata Jade. Don't let what others did or said weigh you down or make you unhappy. Biarlah yang terjadi di hari kemarin tetap tinggal di hari kemarin. Keputusan yang sudah diambil takkan bisa diubah, tak ada gunanya juga disesali. Cukup ambil hikmahnya saja dan belajar dari situ. Karena biar bagaimanapun hidup harus terus berjalan. Cepat atau lambat akan ada titik terangnya. Dan yang terpenting, jangan pernah berhenti berharap. Karena hidup sering berjalan tidak sesuai rencana, namun tidak selamanya juga seperi itu.

Seperti yang pernah gue baca entah di mana, "Life is not about the moments you plan out, because rarely does anything go according to plan. Life is a collection of small things. And often small things make you happy."

In the end, this all will pass. Now I'm holding on to the thought like a dear life; that this all will be over, eventually.